Selama ini pendidikan agama Islam (PAI) di sekolah/madrasah dianggap kurang berhasil dalam menggarap sikap dan perilaku keberagamaan peserta didik serta membangun moral etika bangsa. Bermacam-macam argumen yang dikemukakan untuk memperkuat statemen tersebut. Antara lain adanya indikator-indikator kelemahan yang melekat pada pelaksanaan pendidikan agama di sekolah/madrasah, yang dapat diidentifikasi sebagi berikut: pertama, PAI kurang bias mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi makna dan nilai atau kurang mendorong penjiwaan terhadap nilai-nilai keagamaan yang perlu di internalisasikan dalam diri peserta didik.
Dengan kata lain pendidikan agama selama ini lebih menekankan pada aspek knowing dan doing dan belum banyak mengarah ke aspek being. Yakni bagaimana peserta didik menjalani hidup sesuai dengan ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama yang diketahui (knowing). Padahal inti pendidikan agama berada di aspek ini. Kedua, PAI kurang dapat berjalan bersama dan bekerjasama dengan program-program pendidikan non agama, ketiga, PAI kurang mempunyai relevansi terhadap perubahan social yang terjadi di masyarakat atau kurang kontekstual terhadap social budaya, atau bersifat akontekstual dan lepas dari sejarah. Sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian.
Persolan tersebut sebenarnya sudah bersifat klasik, namun hingga kini belum terselesaikan dengan baik, sehingga menjadi persoalan yang berkesinambungan pada generasi selanjutnya. Untuk itulah pengembangan pendidikan agama islam di sekolah perlu dioptimalkan.
A. Urgensi Pendidikan Islam
Aktivitas pendidikan Islam timbul sejak adanya manusia itu sendiri, bahkan ayat yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad saw bukanlah perintah tentang shalat, puasa, zakat, dan lainnya, tatapi justru perintah tentang iqra' yang diartikan membaca, merenungkan, meneliti, atau mengkaji. Hal ini bisa difahami bahwa iqra dalam arti yang lebih luas yakni perintah untuk mencerdaskan kehidupan manusia yang merupakan inti dari aktivitas pendidikan. Dari situlah manusia memikirkan, menelaah dan meneliti bagaimana pelaksanaan pendidikan itu, sehingga muncullah pemikiran dan teori-teori pendidikan Islam. Pendidikan Islam di Indonesia merupakan warisan peradaban Islam dan sekaligus aset bagi pendidikan nasional yang lahir dari persentuhan berbagai unsur budaya yang berlatar belakang geografis maupun tata nilai adat yang berbeda. Sehingga keragaman budaya suatu bangsa akan memperkaya dan mendinamisasi budaya lokal yang ada.
Fenomena sejarah kebudayaan dan pendidikan Islam tersebut, merupakan suatu dinamika kebudayaan yang tumbuh sesuai dengan perubahan zaman. Ini berarti pendidikan Islam selain memberikan landasan konseptual dan filosofis, juga sebagai resistor dalam merespon perubahan dalam jenjang perkembangan dan pertumbuhan kebudayaan. Untuk itu, pengembangan beberapa aspek yang bersifat konseptual mutlak diperlukan untuk pengembangan pendidikan Islam dan kebudayaan. Dalam hal ini Pentingnya budaya Islam dalam eskalasi budaya bangsa Indonesia, strategi pendidikan Islam dalam merespon transformasi budaya dimasa depan dan upaya menghindari dikhotomi pendidikan dalam pelaksanaannya dalam sistem pendidikan di Indonesia harus segera direalisasikan.
Pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu pada term at-tarbiyah, at-ta’lim dan at-ta’dib. Dari ketiga istilah tersebut term yang paling popular digunakan dalam praktek pendidikan Islam ialah term at-tarbiyah, dan at-ta’lim sedangkan term at-ta’dib jarang sekali digunakan.
Terlepas dari ketiga term diatas secara terminology para ahli pendidikan Islam telah mencoba memformulasikan pengertian pendidikan Islam diantara batasan tersebut di atas yang sangat variatif.
Asy-Syaibany mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dalam masyarakat.
Dalam konteks keindonesiaan, pendidikan Islam sudah di kenal sejak kedatangan agama Islam ke Indonesia. Dalam hal ini Mahmud Yunus mengatakan bahwa sejarah pendidikan Islam sama tuanya dengan masuknya agama Islam ke Indonesia. Hal tersebut disebabkan semangat masyarakat terhadap agama untuk mempelajari dan mengetahui lebih dalam tentang Islam. Sehingga timbullah pendidikan Islam. Kesederhanaan pelaksanaan pengajaran atau pendidikan Islam pada saat itu, bukan saja dalam segi materi dan kelembagaan, tapi juga dalam sarana dan prasarana yang mempengarui keberhasilan suatu proses pendidikan.
Adapun dalam perkembangan selanjutnya, terutama pada masa penjajahan Belanda, pola pendidikan yang dualistis terjadi di Indonesia, yaitu adanya system pendidikan kolonial di satu pihak dan system pendidikan Islam (pesantren) di pihak lain. Pendidikan kolonial sangat berbeda dengan pendidikan Islam tradisional (pesantren) , perbedaan tersebut bukan hanya dari segi metode, tetapi khusus lagi dari segi isi dan tujuan pendidikan.
Pendidikan yang dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda berorientasikan pada pengetahuan dan ketrampilan duniawi. Corak pendidikan tersebut sesuai dengan strategi politik pemerintah Kolonial Belanda yang ingin netral terhadap agama. Oleh karena itu A. Mukti Ali mengemukakan sebenarnya system pendidikan Kolonial Belanda bersifat intelektualistis, individualistis, dan kurang sekali memperhatikan dasar-dasar dan asas moral.
Pendidikan yang dikembangkan oleh bangsa Eropa – termasuk pemerintah kolonial Belanda- pada hakikatnya cenderung bersifat birokrasi dan formalitas. Mekanisme dan formalitas yang sangat ketat itulah yang mengatur tingkah laku orang yang berada dilingkungan pendidikan. Pada akhirnya pemikiran dan tingkah laku yang muncul dalam proses pendidikan bukan lagi bersumber pada kehendak manusia itu sendiri yang berjiwa merdeka, akan tetapi bersumber dari aturan-aturan dalam pendidikan yang bersifat birokrasi dan formalistis.
Menurut Azyumardi Azra, kenyataan semacam itu turut memberikan andil bagi ketidakberhasilan pendidikan dalam mencapai tujuannya, yakni mendewasakan anak didik, baik jasmani maupun rohani; atau terciptanya pribadi utuh yang dewasa dan cerdas dalam pemikiran dan tindakan.
Sehubungan dengan masalah tersebut, pendidikan Islam nampaknya memiliki tanggung jawab yang besar dalam mendidik generasi bangsa agar anak didik kreatif mencari pengetahuan sendiri menurut kebutuhannya. Oleh karena itu, menurut Athiyah al-Ibrasyi hal penting yang menjadi catatan dalam membangun sebuah konsep pendidikan Islam yang ideal, utamanya dalam rangka membangun mental dan akhlak para peserta didik, yakni dengan tidak mengabaikan elemen-elemen pendukungnya.
Dari konsep dasar tersebut dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan Islam pada dasarnya membentuk kesiapan, kemampuan dan kecakapan manusia untuk melaksanakan tugas-tugas dan fungsi kekhalifahan sebagaimana yang dikehendaki Allah swt. Jika konsep tauhid ini dijadikan landasan dalam aktivitas pendidikan, maka akan berimplikasi pada proses pendidikan yang lebih banyak memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengadakan penelitian, eksperimen di laboratorium, problem solving terhadap maslah-masalah sosial dan sebagainya.
B. Pendidikan Islam dan Kebudayaan
Menurut pandangan Islam, agama akan melahirkan kultur yang Islami. Hal ini dapat dihubungkan dengan konsep iman-Islam-ihsan dan aqidah-ibadah-akhlak. Makna yang terkandung di dalamnya meliputi atribut, substansi dan perilaku sehingga beribadah itu identik dengan bertaqwa yang hakekatnya meliputi ibadah muamalah dan ibadah mahdah. Begitu juga hakekat berakhlak tidak hanya meliputi sikap, tetapi juga perilaku interaktif dan komunikatif. Dengan demikian agama diartikan sebagai perilaku yang ekspresif, produktif dan komunikatif sesuai dengan nilai dan norma Islam. Berperilaku akan sesuai dengan nilai dan norma Islam jika diawali oleh proses berfikir dan bersikap untuk memotifasi suatu perbuatan tertentu. Kegiatan terakhir ini merupakan kultur atau peradaban manusia.
Nilai-nilai universal Islami yang yang terdapat dalam kultur budaya bangsa menjadi ramuan pola pikir, sikap dan perilaku umat Islam. Dalam kenyataan sejarah perkembangan bangsa Indonesia, baik melalui adaptasi maupun kebisaaan, umat Islam secara tidak langsung bersentuhan dengan akulturasi yang panjang sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas masyarakat islam Indonesia dalam merespon perkembangan zaman.
Alat pendukung peningkatan kualitas dan kemampuan menghadapi tantangan-tantangan zaman adalah pendidikan, termasuk pendidikan agama. Permasalahan yang timbul ialah bagaimana memberikan pendidikan agama, agar agama yang diamalkan mampu menggerakkannya untuk mengubah nasib guna memperoleh kesejahteraan hidup di dunia. Bahkan berusaha memperbaiki nasib adalah salah satu perintah agama, karena agama tidak menyuruh umatnya bersifat fatalistic karena segala sesuatu sudah di tentukan oleh Tuhan dalam artian harfiah. Oleh karena itu etos kerja harus dibangkitkan dengan memberikan pendidikan agama, bukan hanya dalam ranah kognitif, namun harus banyak pada sisi afektifnya.
Masalah agama dan kebudayaan memang hal yang actual bagi bangsa Indonesia. Dalam GBHN menyuratkan bahwa pengamalan sila ketuhanan Yang Maha Esa, yang antara lain tanggung jawab bersama dari semua golongan beragama untuk terus menerus dan bersama-sama meletakkan moral, etika, spiritual yang kukuh bagi pembangunan pendidikan nasional sebagai pengamalan pancasila.
Sadar akan tantangan yang demikian, di beberapa kawasan Nusantara tampil para tokoh dan pemikir, baik dalam bentuk tulisan maupun melalui karya nyata sebagai jawaban terhadap problematika pendidikan yang mereka hadapi.
Diantara tokoh dan pemikir di Indonesia yang tampil sebagai pemerhati masalah pendidikan yakni ulama atau kiai. Umat Islam Indonesia cenderung menempatkan ulama atau kiai pada posisi sangat penting. Mereka diyakini memiliki otoritas tidak hanya dalam masalah-masalah keagamaan, tatapi juga dalam masalah-masalah social dan bahkan politik, Oleh karena itu Clifford Geertz menyebut ulama sebagai pialang budaya (cultural broker) yang pada dasarnya mengacu kepada mereka yang melampaui batas-batas keagamaan. Ulama dipandang telah bertanggung jawab atau tepatnya memiliki kontribusi besar tidak saja pada proses intensifikasi keIslaman, tetapi juga pembentukan system social-budaya masyarakat. Para ulama sebagai penterjemah dan sekaligus perumus nilai-nilai Islam kedalam struktur kehidupan masyarakat.
Menyandang posisi demikian ulama jelas memberi sumbangan sangat berarti dalam perkembangan Islam di Indonesia, terutama peran mereka dalam dunia pendidikan. Peran ini sedemikian penting karena malalui lembaga-lembaga pendidikan Islam yang mereka dirikan, seperti pesantren, surau, madrasah maupun sekolah.
Berkaitan dengan peran ulama dalam pendidikan, hal penting yang perlu di catat adalah fakta bahwa para ulama telah berusaha membangun satu system atau metode pengajaran yang diakui sangat efektif bagi proses pembentukan nilai-nilai budaya dan keagamaan dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini konsep mastery learning yang diketengahkan para ahli pendidikan modern, pada dasarnya telah lama dipraktekkan para ulama di lembaga lembaga pendidikan mereka. di pesantren, sebagaimana diketahui para santri diwajibkan menguasai secara utuh materi-materi pelajaran pada setiap jenjang, sebagai prasarat untuk mengikuti pelajaran pada jenjang berikutnya. Dengan cara demikian, para ulama relative lebih berhasil melakukan transfer ilmu-ilmu keIslaman kepada kalangan para santri, mereka berhasil mengajarkan doktrin-doktrin Islam secara utuh dan komprehensif kepada kalangan para santri.
Hal lain yang berkaitan dengan pendidikan adalah, para ulama mengembangkan pendidikan yang tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu keIslaman, melainkan sekaligus cara hidup, keterampilan, kemandirian, dan nilai-nilai kepemimpinan. Sehingga para santri lulusan pesantren tidak hanya mendalami ajaran-ajaran Islam, tetapi juga menguasai pula apa yang disebut sebagai keterampilan social (social skill); mereka dibekali dengan segenap keterampilan untuk bisa tampil sesuai harapan peran yang dilekatkan masyarakat terhadap umumnya lulusan pesantren. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa para santri juga mendirikan pesantren di wilayah mereka dilahirkan. Dengan cara demikianlah pesantren –khususnya di Jawa – berkembang. Dengan demikian para ulama tampil sebagai “pialang budaya” yang ikut terlibat dalam proses-proses soaial budaya dan bahkan politik di masyarakat.
Dengan demikian, ulama sangat berperan melalui pesantren yang ia dirikan, telah berusaha membangun pemikiran dan system pendidikan yang berangkat dari kecenderungan social budaya dan kondisi riil yang mereka hadapi. Upaya terakhir ini memang sangat signifikan, bahkan menentukan corak perkembangan lembaga pendidikan Islam di Indonesia.
Semua perkembangan di atas tentu saja tidak bisa dilihat terlepas dari peran ulama sebagai penentu sekaligus perumus model pendidikan yang dipraktekkan di pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dengan karakteristik masyarakat Indonesia.
C. Lembaga Pendidikan Islam
1. Pesantren
Sejak awal kelahirannya pesantren tumbuh dan berkembang serta tersebar di berbagai pedesaan. keberadaan pesantren sebagai lembanga keIslaman yang kental dalam karakteristik Indonesia (indigenous) memiliki nilai-nilai strategis dalam pengembangan masyarakat Indonesia. Realitas menunjukkan pada satu sisi sebagian besar penduduk Indonesia terdiri dari umat Islam dan pada saat yang lain mayoritas mereka tinggal di pedesaan. Pesantren juga merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Tujuan pesantren didirikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan agama, meskipun saat ini beragam model pendidikan pesantren tetapi pada intinya adalah memperkuat pemikiran dan akhlak para santri lebih dari sekedar sekolah agar kedepan dapat menjadi orang yang berguna dan berakhlak mulia. Dalam perjalanannya pesantren bukan hanya menjadi lembaga pendidikan, tetapi sudah menjadi komunitas dan gerakan kultural, semua problem yang terjadi pada masyarakat sekitar pesantren baik itu persoalan agama, sosial, budaya, ekonomi bahkan juga politik terkadang pesantren menjadi titik tengah penyelesaian masalah-masalah tersebut.
Secara historis, pesantren adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari perjalanan bangsa ini, dengan terus bertambahnya jumlah pesantren, maka selama itu pula pesantren terus berproduksi dan berkontribusi dalam pembangunan bangsa, tentunya pergeseran-pergeseran paradigma pesantren akan disesuaikan dengan kemajuan jaman. Dalam hal ini bias disimpulkan bahwa ketahanan budaya local bisa bertahan, karena salah satunya adalah adanya peranan pesantren. Maka sangat kehilangan kontek historisnya, apabila pesantren-pesantren hanya menjadi menara gading dan terasing dari kehidupan warga sekitarnya.
Berdasarkan realitas tersebut, pesantren sampai saat ini mempunyai pengaruh yang cukup kuat pada hampir seluruh aspek kehidupan di kalangan masyarakat muslim pedesaan yang taat. Kuatnya pengaruh pesantren tersebut membuat setiap pengembangan pemikiran dan interpretasi keagamaan yang berasal dari luar kaum elit pesantren tidak akan memiliki dampak signifikan terhadap way of life dan sikap masyarakat Islam di daerah pedesaan. Abdurrahman Wahid menamakannya sebagai keadaan rawan situasi kejiwaan pesantren.
Jika keadaan rawan ini tidak segera diatasi maka akan lebih sulit lagi bagi pesantren untuk menghadapi tantangan-tantangan yang ada, baik tantangan intern maupun tantangan ekstern yang melanda pesantren. Mengingat perkembangan masa, lambat laun akan memperkuat kadar dan luas lingkup tantangan itu. Perubahan kadar tantangan ini dalam kalangan sosiologi dinamakan "kesenjangan masa (time lag)" yang tentu saja akan menjuruskan keadaan rawan itu kepada bahaya yang lebih besar.
Tantangan intern pesantren termenifestasi dari keadaan rawan di pesantren yang tampak pada dua reksi terhadap nilai-nilai kehidupan . reaksi pertama berbentuk menutup diri dari perkembangan umum atau masyarakat luar terutama dari kegiatan yang mengancam kemurnian kehidupan beragama yang pada akhirnya menumbuhkan mitos-mitos kekeramatan oleh sementara pesantren. Reaksi kedua mempergiat proses penciptaan solidaritas yang kuat antara pesantren dan masyarakat. Namun proses ini lebih menonjolkan hal-hal modern secara lahiriyah (pseudo-modernism).
Kedua reaksi di atas menunjukkan bahwa pesantren harus menyusun suatu konsep perbaikan yang relevan bagi kebutuhan pesantren. Strategi dasar tersebut diharapkan akan mampu menjadi landasan blue print pembangunan pesantren oleh pemerintah dalam kerjasama dengan pihak-pihak lain. Strategi tersebut meliputi usaha meyakinkan pesantren bahwa keadaan rawan mampu diatasi dengan proyek-proyek perbaikan yang bersifat selektif dan bertahap. Jika keyakinan tersebut dapat ditumbuhkan dikalangan pesantren dengan cara persuasive, tentu saja mereka dapat diajak untuk memilih penggarapan proyek yang paling mendesak pemecahannya di tempat masing-masing. Dengan kondisi tersebut diharapkan pesantren akan memiliki manajemen yang tidak hanya bertopang pada kekuatan moral, namun juga mampu bertopang pada kekuatan organisasi.
2. Madrasah
Madrasah di Indonesia adalah salah satu bentuk lembaga pendidikan Islam yang Kehadirannya pada awal abad ke-20 sebagai manifestasi dan realisasi pembaruan system pendidikan Islam. Berbeda dengan di Timur Tengah, dimana madrasah adalah lembaga pendidikan yang memberikan pelajaran ilmu agama di tingkat lanjut, sedangkan sebutan madrasah di Indonesia mengacu pada lembaga pendidikan yang memberikan pelajaran agama Islam tingkat dasar dan menengah. Perkembangannya diperkirakan lebih merupakan reaksi terhadap faktor-faktor yang berkembang dari luar lembaga pendidikan yang secara tradisional sudah ada, terutama untuk menjawab tantangan munculnya pendidikan modern Barat. Dengan perkataan lain, timbulnya madrasah di Indonesia adalah hasil tarik menarik antara pesantren sebagai lembaga pendidikan asli (indigenous culture) yang sudah ada, dan di satu sisi dengan pendidikan Barat (modern) di sisi lain.
Hal senada juga diungkapkan oleh Armai Arief yang berpendapat bahwa ada dua factor penting yang melatarbelakangi kemunculan madrasah di Indonesia; pertama, adanya pandangan yang mengatakan bahwa system pendidikan Islam tradisional (pesantren) kurang bisa memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat. Kedua, adanya kekhawatiran atas kecepatan atas perkembangan persekolahan Belanda yang akan menimbulkan pemikiran sekuler di masyarakat. Untuk menyeimbangkan pemikiran sekularisme, maka masyarakat muslim terutama para reformist kemudian memasukkan pendidikan Islam dalam persekolahan melalui pembangunan Madrasah.
Dalam realitas sejarahnya, madrasah tumbuh dan berkembang dari, oleh dan untuk masyarakat Islam itu sendiri, sehingga sebenarnya menurut Muhaimin madrasah jauh lebih dahulu menerapkan konsep pendidikan berbasis masyarakat (community based education). Masyarakat, baik individu maupun organisasi, membangun madrasah untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mereka. Tidak heran bila madrasah yang dibangun oleh mereka bisa seadanya saja atau memakai tempat apa adanya. Hingga saat ini pun kurang lebih 90,08% jumlah madrasah yang ada di Indonesia adalah milik swasta, sedangkan sisanya 9,92 adalah berstatus negeri.
D. Hubungan Pendidikan Agama dalam Membangun Tradisi
Dalam agama manapun konsepsi manusia tentang realitas tidaklah bersumber dari pengetahuan, tetapi pada kepercayaan suatu otoritas mutlak yang berbeda dari satu agama dengan agama lainnya. Di dalam Islam konsepsi realitas beasal dari wahyu (al-Qur’an) dan hadits. Konsepsi dasar realitas yang diberikan kedua sumber ini dipandang bersifat absolut, dan karenanya transenden dari realitas sosial. Namun agama juga merupakan realitas sosial, ia hidup termanifestasikan dalam masyarakat.
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa agama mempunyai kaitan yang erat dengan masyarakat. Masyarakat sebagai suatu kelompok yang terdiri dari individu-individu manusia yang bias dikatakan sebagai makhluk biologis dan social. Demi mempertahankan kehidupannya, manusia amat bergantung dengan lingkungan fisik dan sosialnya. Namun, dalam menjalankan fungsinya itu manusia tidak bersentuhan dengan dunia secara pasif. Bahkan cara manusia bertindak memengaruhi kehidupan sosial dan jaring-jaring kehidupan di sekitarnya. Tindakan manusia ditentukan oleh apa yang mereka pikirkan, oleh nilai-nilai dan sistem kepercayaannya. Hal ini pada gilirannya diaktualisasikan dan diperkuat oleh pendidikan melalui ragam aspek budaya kita, dan oleh instrumen aktivitas ritual.
Pendidikan memegang peranan yang penting dalam setiap masyarakat dan kebudayaan. Suatu masyarakat mempunyai keteraturan yang diikat oleh sistem nilai yang hidup dalam kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu. Kebudayaan adalah jiwanya suatu masyarakat, karena kebudayaan itulah yang menghidupi masyarakat dengan nilai-nilai yang dimilikinya. Nilai-nilai itulah yang telah hidup, menghidupi, dan mengarahkan kehidupan masyarakatnya, kini dan masa depan. Kebudayaan adalah suatu kekuatan, elan vital suatu masyarakat, karena didukung oleh pribadi-pribadi yang dinamis sebagai aktor-aktor kebudayaan. Aktor-aktor tersebut dikembangkan dan dibina oleh proses pendidikan. Tidak mengherankan apabila pendidikan merupakan tonggak sebuah peradaban.
Peran pendidikan di dalam kebudayaan dapat kita lihat dengan nyata di dalam perkembangan kepribadian manusia. Tanpa kepribadian, manusia tidak ada kebudayaan. Meskipun kebudayaan bukanlah sekedar jumlah dari kepribadian-kepribadian. Salah satu proses yang luas dikenal mengenai kebudayaan adalah transmisi kebudayaan. Artinya kebudayaan itu ditransmisikan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Bahkan banyak pendidikan yang merumuskan proses pendidikan tidak lebih dari proses transmisi kebudayaan.
Antara kebudayaan dan pendidikan tidak dapat dipisah-pisahkan. Pendidikan adalah bagian dari kebudayaan. Dan kebudayaan itu sendiri sebagai sesuatu yang terus berubah, antara lain dimotori oleh kegiatan pendidikan. Pendidikan di lihat sebagai kegiatan untuk mengembangkan individu-individu yang bukan saja berfungsi sebagai preservator kebudayaannya, tetapi juga berfungsi sebagai kreator dari kebudayaannya itu. Artinya tanpa pendidikan, kebudayaan tidak akan berkembang atau matinya sebuah kebudayaan. Proses pendidikan bukan sekedar transformasi nilai kebudayaan, tetapi mencipta, memperbaharui, mengubah, memperkaya, bahkan dapat mematikan kebudayaan itu sendiri. Hal ini berarti pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kebudayaannya.
Kebudayaan pada hakikatnya berisi nilai-nilai dan hasil karya masyarakat yang mempunyai kebudayaan tersebut. Nilai-nilai di dalam masyarakat tersebut ditransformasikan melalui proses pendidikan. Oleh sebab itu proses pendidikan bukan hanya mentransformasikan satu atau beberapa nilai budaya, tetapi keseluruhan nilai budaya.
Berbeda dengan kebudayaan sebagaimana tersebut di atas, kaidah agama sebagai nilai-nilai luhur, berasal dari Tuhan yang diturunkan melalui wahyu. Namun demikian tidak berarti antara agama dan kebudayaan saling bertentangan, melainkan bisa saja antara keduanya saling bertemu dan bersinggungan. Salah seorang filosof muslim, Ibn Rusyd (520 H/1126), sebagamana yang dikutip Abudin Nata, termasuk diantara tokoh yang melihat antara agama dan kebudayaan (produk akal) tidak saling bertentangan. Hal ini didasarkan pada alasan karena agama yang bersumber pada wahyu berasal dari Tuhan. Demikian pula produk akal seperti filsafat dan kebudayaan yang bersumber pada akal, juga berasal dari Tuhan, karena akal adalah ciptaan-Nya. Oleh sebab itu diantara keduanya tidak mungkin terjadi pertentangan. Kalaupun secara lahiriah terlihat antara pendapat akal dengan wahyu terjadi pertentangan, maka pada hakikatnya tidak bertentangan. Yang bertentangan adalah hasil penafsiran manusia terhadap wahyu tersebut. Untuk mendapatkan hasil produk akal sejalan dengan wahyu, perlu diadakan pembersihan jiwa dan berkomunikasi secara spiritual dengan Tuhan secara terus menerus.
Kebudayaan yang demikian itu selanjutnya dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat dalam dataran empirik atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala dalam masyarakat. Pengalaman agama yang terdapat dalam masyarakat tersebut diproses oleh penganutnya dari sumber agama, yaitu wahyu melalui penalaran.
Senada dengan pendapat di atas, menurut Nurkholis Madjid agama dan kebudayaan tidak terpisah, namun berbeda. Agama bersifat sejagad (universal) dan mutlak, kebudayaan bersifat partikular dan nisbi. Landasan agama ialah wahyu Ilahi, sedangkan landasan kebudayaan ialah pemikiran manusia sebagaimana yang disarankan al-Qur’an (13:11) ” sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada dalam diri suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka”. Selain itu kebudayaan juga harus dibedakan dengan peradaban. Kebudayaan adalah struktur batin dari kehidupan manusia, sedangkan peradaban adalah jelmaan dan perluasannya dalam kehidupan praktis, meliputi kegiatan politik, ekonomi, hukum, dan lain sebagainya. Ia memandang bahwa kebudayaan, termasuk kebudayaan Islam, tidak mungkin berkembang tanpa adanya tradisi yang kokoh dan mantap, serta memberi ruang yang luas bagi pembaruan pemikiran.
Pembaruan pendidikan dalam Isam termanifestasi dalam pendidikan, karena pendidikan merupakan sub system dari keseluruhan satuan budaya. Pendidikan dan kebudayaan dapat dipandang sebagai refleksi kehidupan intelektual dan cultural umat Islam dalam perjalanan misi sejarah yang disandangnya. Dari corak dan mutu pendidikanlah dapat diamati kualitas intelektual dan cultural umat Islam di masa depan.
E. Strategi Pendidikan Agama Islam Dalam Merespon Transformasi Budaya
Bangsa Indonesia yang penduduknya mayoritas umat Islam termasuk bangsa yang memiliki latar belakang kebudayaan dan keyakinan agama yang berbeda dengan masyarakat barat yang sekarang ini menguasai ilmu dan teknologi. Secara khusus pendidikan Islam di era global sekarang ini menghadapi tantangan terutama moral sosial.
Untuk menjawab tantangan demi tantangan yang muncul dalam wilayah kebudayaan saat ini, maka pendidikan harus mengadakan pendekatan terhadap kebudayaan yang tidak semata-mata teoritis, tetapi dalam tataran praktis. Pendekatan semacam ini telah melahirkan pemikiran tentang perlunya strategi kebudayaan. Strategi kebudayaan harus bermakna dan berintikan pembaharuan pendidikan Islam, karena pendidikan merupakan subsistem dalam keseluruhan satuan budaya. Pendidikan dan kebudayaan dapat dipandang sebagai refleksi kehidupan intelektual dan cultural umat Islam dimasa depan.
Bertolak dari strategi kebudayaan semacam itu, maka pembaharuan pendidikan Islam merupakan suatu keharusan guna membentuk pilar-pilar kebudayaan masa depan yang kukuh dan kuat untuk menopang bangunan Islam dan umatnya.
Dua masalah yang penting dan saling terkait dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia adalah pendidikan dan kebudayaan. Hubungan sebab akibat keduanya mengandung pengertian bahwa keberhasilan tujuan pendidikan dapat mempengaruhi kebudayaan masyarakat. Untuk mewujudkan budaya masyarakat Islam, diperlukan kajian khusus mengenai kendala dan tantangan yang dihadapi oleh pendidikan agama. Saat ini tantangan yang dihadapi pendidikan agama sangat beragam dan kompleks. Tantangan tersebut bersifat internal dan eksternal.
Tantangan internal pendidikan kita yakni studi internasional yang selalu menempatkan kita pada ranking untuk pendidikan dan ranking atas untuk korupsi. Kondisi ini sering diucapkan secara berulang-ulang, sehingga membentuk konsep diri kita, bahwa pendidikan kita jelek dan terbelakang. Untuk merubah konsep diri dan bingkai studi internasional, maka pembenahan dari dalam institusi pendidikan mutlak diperlukan. Pembenahan tersebut meliputi sumber belajar, kurikulum, dan metodologi pengajaran.
a. Sumber belajar
Sistem pendidikan Islam Indonesia terus berubah dan berkembang semakin beragam, tidak hanya jumlahnya tapi juaga kualitasnya. Kalau dulu guru merupakan satu-satunya sumber belajar, tetapi kini siswa menerima materi dari banyak sumber, diantaranya perpustakaan semakin menjadi pusat belajar mandiri. Meskipun demikian budaya membaca belum benar-benar akrab dengan umat islam, inilah salah satu tugas dan tanggung jawab pendidikan Islam Indonesia untuk memberdayakan gemar membaca.
b. Kurikulum
Kurikulum merupakan Kurikulum rancangan pendidikan yang mempunyai kedudukan yang cukup sentral dalam seluruh kegiatan pendidikan dan sebagai penentu proses pelaksanaan dan hasil pendidikan. Suatu kurikulum pendidikan hendaknya mengandung beberapa unsur utama seperti tujuan, isi mata pelajaran, metode mengajar dan metode penelitian. Kesemuanya harus mengacu pada satu sumber kekuatan yang menjadi landasan dalam pembentukannya. Sumber kekuatan tersebut dikatakan sebagai asas-asas pembentuk kurikulum pendidikan.
Pengembangan kurikulum di madrasah perlu diimplementasikan secara terpadu, dengan menjadikan ajaran dan nilai-nilai Islamsebagai petunjuk dan sumber konsultasi bagi pengembangan berbagai mata pelajaran Umum dengan cara menyisipkan ajaran dan nilai-nilai Islam kedalam bidang studi umum.
c. Metodologi belajar
Metodologi belajar sudah saatnya menampilkan inovasi-inovasi yang mampu membuat siswa aktif dan kreatif dalam berpikir. Metode tersebut bias berupa metode problem solving. Karena dengan metode ini diharapka menghasilkan metodologi pengajaan yang melampaui dataran doktrin, kemazhaban dan furuiyah. Semua bahan yang sesuai dengan tingkat kematangan pelajar hendaknya diberikan secara lengkap. Dan pada akhirnya mereka sendirilah yang mengolah dan memutuskannya.
Sedangkan tantangan ekstern pendidikan Islam terkait dengan globalisasi yang merupakan kolonialisme berwajah baru. Karena dalam globalisasi penerapan rasionalisme, industrialisme dan pola perubahan hidup masyarakat menuju ke arah penyatuan dunia dengan mengesampingkan persoalan-persoalan lokalistik, ketertutupan diri primordialisme dan sebagainya. Globalisasi juga identik dengan modernisasi yang merupakan gambaran masa depan, abadnya informasi canggih yang disadari bahwa semuanya ini berasal dari keberhasilan manusia dalam merekayasa ilmu pengetahuan dan teknologi.
Produk teknologi canggih yang ada pada masa sekarang tidak lagi merupakan barang langka. Hampir di semua rumah penduduk sudah melengkapi teknologi seperti TV, Radio Tape, computer, internet dan perlengkapan teknologi lainnya. Oleh karena itu arus globalisasi teknologi tidak dapat dibendung dengan begitu saja karena semua itu sudah menjadi bagian dari kebutuhan hidup masyarakat masa kini., terutama pengaruhnya terhadap pola piker dan gaya hidup masyarakat. Gaya hidup itu berasal dari konsekwensi logis dari hasil penglihatan mereka, baik melalui TV maupun internet.
Dari fenomena tersebut sering kita mendengar adanya krisis identitas, krisis kebudayaan, dekadensi moral, serta berbagai kemerosotan-kemerosotan lainnya. Semua itu merupakan konsekwensi dari keberhasilan teknologi yang di rancang dan dibuat oleh manusia. Lebih jauh lagi pola hidup masyarakat modern sebagai hasil dari kemajuan teknologi adalah sifat tidak perduli dan apatis terhadap persoalan-persoalan yang ada diluar dirinya.
Demikian besarnya pengaruh faham tersebut, sehingga tidak hanya mempengaruhi dan merubah pola hidup masyarakat, bahkan faham ini juga masuk kedalam dunia pendidikan dalam hal ini pesantren juga harus mempunyai strategi dasar yang perlu dilakukan untuk mengembalikan pendidikan pada makna hakiki. Dewasa ini, pendidikan telah mengalami pembisaan arti dengan hanya sekedar sebagai wacana pengajaran yang lebih menitikberatkan kepada transfer pengetahuan semata, bahkan dalam kasus-kasus tertentu pendidikan telah diidentikkan dengan sekedar perolehan ijazah, atau atribut-atribut formal yang bersifat artificial lainnya. Pandangan semacam ini perlu didekonstruksi sekaligus direformulasi dengan meletakkannya sebagai proses manusia tidak lagi untuk having tetapi memantapkannya sebagai being. Bukan schooling tetapi learning, dan bukan transfer of knowledge, tetapi membangun jiwa melalui transfer of values lewat keteladanan. Dalam pengertian ini pendidikan diarahkan sebagai proses penanaman nilai-nilai dan perluasan wawasan serta kemampuan manusia sehingga mereka benar-benar tercerahkan.
Referensi:
A'la, Abd, Pembaruan Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2006)
Al-Abrasyi, Mohammad Athiyah, at-Tarbiyah al-Islamiyah, (Mesir: Isa Babi al-Halabi, tt),
Ali, A. Mukti Alam Pikiran Islam Modern Di Indonesia, (Yogyakarta, Nida, 1969)
Arief, Armai Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD, 2005), hal. 60. bandingkan dengan Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007)
Asy-Syaibany Omar Muhammad at-Thaumy, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979)
Azra, Azyumardi Esai-Esai Intelektual Muslim dan penddikan Islam, (Jakarta: Logos, 1998),
Azra, Azyumardi, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999)
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi menuju Miliium Baru, (Jakarta: Logos, 2002)
Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Depag RI dan Puslit IAIN Jakarta, Peran Pesantren dalam Penyelenggaraan program Wajar 9 Tahun
Faisal, Jusuf Amir Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995)
Geertz, Clifford”Konflik dan Integrasi Agama dan Masyarakat di Mojokuto”, dalam Abdullah Taufik (ed), Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1987),
Hasbullah, Sejarah pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: rajawali pers, 1999),
http:/re-searchengines.com/drtobroni5-07.html diakses pada tanggal 12 agustus 2008.
Langgulung, Hasan, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003)
Madjid, Nurkholish, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1999)
Masinambow, Koenjaraningrat dan Antropologi di Indonesia, (Jakarta: YOI,1997)
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999)
Muhaimin, (dkk), Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Rosda Karya, 2004)
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam: Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, (Jakarta, Rajawali pers,2006)
Nata, Abudin, Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2003)
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Histories, Teoritis, Dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002)
Priatna, Tedi, paradigma pendidikan Islam, (Bandung,: Bani Quraisy, 2004),
Saleh, Abdul Rahman Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa: Visi, Misi, dan Aksi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006)
Shiddiqi, Nourouzzaman Jeram-Jeram Peradaban Muslim, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996)
Shihab,M. Quraisy, Membumikan al-Qur'an, (Bandung, Mizan, 1999)
Steenbrink, Karel A. Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta: LP3ES, 1986)
Syalabi, Ahmad, Tarikh At-Tarbiyah al-Islam, (Kairo, al-Kasyaf, 1954)
Tilaar, H.A.R., Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung: Rosdakarya, 1999)
Wahid, Abdurrahman Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2007)
Yunus Mahmud, , Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Hidrakarya Agung, 1996),
Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997)
http://saifudin9.blogspot.com/2010/06/kontekstualisasi-pendidikan-agama-islam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar